Kami Butuh Makan
Romo Magnis Suseno mengatakan bahwa program MBG itu bagus, tapi tidak sesederhana itu.
Tulisan ini memang akan kontroversial. Tapi saya rasa penting untuk terus mengawal dan mengawasi program ini.
Begini, saya orang yang pada awalnya tidak suka program ini. Kayak, buat apa? Padahal ada hal lain yang dibutuhkan, ada urgensi lain yang harus ditangani. Tapi pengalaman saya belakangan ini mulai mengerti adanya MBG memang dibutuhkan.
Kita akan membahas tentang kontranya nanti. Saya ingin menuturkan pengalaman pribadi dan fakta sosial yang ada. Bahwa, MBG dibutuhkan.
Waktu saya masih sekolah, ada beberapa teman yang tidak diberi bekal oleh orang tuanya. Maaf, tapi karena memang tidak memungkinkan untuk memberikan bekal. Saya sudah tidak berhubungan lama dengan teman saya ini, tapi masih sangat lekat diingatan saya: bagaimana dia.
Saya rasa tak masalah jika saya menceritakannya.
Teman saya ini memiliki saudara yang banyak. Dia lahir dengan tujuh bersaudara, dia anak nomor 2. Bapaknya seorang sopir angkutan umum, ibunya seorang PRT. Dia adalah kawan akrab saya.
Saya adalah anak yang selalu diberikan bekal. Cukup. Suatu siang, saya makan bekal saya sendiri. Lalu saya tidak menghabiskan bekal karena sudah terlalu kenyang. Saya lupa bagaimana detailnya, yang jelas, tiba-tiba kawan saya itu melanjutkan makanan saya dan menghabiskannya.
Rasa yang muncul dari saya adalah perasaan bersalah. Mengapa?
Artinya, dia membiarkanku makan tanpa mengganggu saya. Saat makanan saya tidak habis, dia bersedia untuk menghabiskannya tanpa perasaan enggan atau mungkin jijik. Itu karena perutnya lapar.
Lalu, ketika saya dewasa. Saya memiliki kawan yang bekerja di tempat makan. Saya tidak bisa memberikan detail. Tapi, ketika makanan yang disajikan tidak dihabiskan oleh seseorang. Selagi makanan yang tersisa itu masih baik, teman saya akan menghabiskannya. Saya pernah melihat kejadian ini langsung dengan mata kepala saya.
Kejadian paling terakhir adalah, baru saja saya mengikuti tahlil kematian. Saat tahlil itu ada tiga anak kecil, dua kembar, satu lebih kecil dari si kembar itu. Mungkin, mereka masih TK. Tak banyak perbedaan umur dari si kembar dengan si kecil.
Mereka sebenernya bukan tetangga dekat, rumahnya jauh. Tapi orang-orang bisa mengerti, mereka datang ke tahlilan itu untuk mendapatkan "makan malam". Saya yang tidak tahu mereka anak siapa, mencuri dengar, bahwa mereka adalah anak seorang pengamen.
Sudah. Saya sudah cukup untuk menceritakan hal-hal yang untuk saat ini saya belum bisa menolongnya. Maka dari itu, saya rasa, makanan gratis itu perlu. Sangat perlu.
Tapi, apakah itu serta merta bagus untuk program pemerintah ini.
Birokrasi yang cukup buruk di negeri ini memberikan pendukung akan apa yang disampaikan oleh Romo Magnis. Bahwa, MBG itu bagus, tapi tidak sesederhana itu.
Somehow, saya mengerti beberapa proses mengenai program MBG ini. Bahwa, pada prosesnya MBG terkesan seperti sebuah "proyek". Artinya, itu memunggungi ide makanan gratis untuk menolong masyarakat.
Dalam wawancara, Pak Presiden sepertinya juga tahu akan adanya hal yang tidak beres. Beliau berkata bahwa program ini kadang ada yang dipolitisasi.
Saya rasa, ini bukan hanya dipolitisasi, yang artinya dilakukan keculasan oleh orang-orang atas. Tapi, MBG juga di kapitalisasi dengan cara yang buruk, oleh tangan-tangan terakhir sebelum tersalurkan di sekolah-sekolah. Keburukan yang mutlak!
Maka dari itu, MBG yang diharapkan bisa memberikan bantuan. Membawa petaka dengan beberapa anak yang keracunan.
Dalam hal ini saya sangat setuju dengan pendapat Romo Magnis, "MBG itu bagus, tapi tidak sesederhana itu." Kebaikan dalam birokrasi yang buruk, hanya akan berimbas petaka.
Komentar
Posting Komentar