Memulai untuk Bicara Politik
Saya harus menulis politik.
Bukan karena saya yang paling tahu dan yang paling mengerti. Pun, ilmu saya tentang politik hanya berdasar pada baca-baca berita. Setidaknya, sampai menuliskan ini. Tak ada teori politik sama sekali yang saya baca.
Bahwa yang saya tulis sepenuhnya opini saya pribadi. Saya sangat bersedia untuk mempertanggungjawabkannya.
Menulis politik bukan karena saya unjuk kebolehan. Bahkan, enggan saya sebenarnya menulis politik. Sebab, di sini, politik bukan tentang objektifitas politik itu sendiri. Tapi lebih pada arah: politisi yang kau bela?
Muak saya dengan itu. Jujur saja. Tak ada politisi yang bisa dipercaya. Bukan maksud saya untuk memperbandingkan sebuah kutipan dari Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Sastra dan Pendidikan: Sastrawan bukan nabi yang menyampaikan sabda. Begitu juga politisi, bagiku. Mereka bukan nabi.
Menyandingkannya dengan nabi pun tampaknya keliru. Sangat keliru. Mulut-mulut yang biasanya mengeluarkan janji tak pernah ditepati, mengatakan seakan kebohongan adalah suatu kebeneran. Begitu mendiskreditkan kejujuran. Tak pantas mereka disandingkan dengan nabi.
Tak bisa selamanya saya berdiri diantara kelabu. Harus memilih hitam atau putih.
Maka, saya berdiri dengan kebingungan itu. Bahkan untuk waktu yang lama. Begitu lingkungan yang saya lihat setidaknya: jika kau tak membela siapa-siapa (politisi), maka tak bisa aku menjadi teman, juga tak bisa aku menjadi musuh.
Tak apa.
Berpeganglah saya pada pengertian awal: bahwa, membicarakan politik bukan tentang membela politisi.
Saya, membicarakan politik ini, tulisan awal tentang politik ini, dengan semangat: saya juga membela! Bukan dan tidak akan pada politisi. Tapi rakyat!
Sebab tak sampai saat ini, masih belum ada politisi yang bisa dipercaya. Sebab, sampai saat ini, saya merasa mereka (politisi) adalah rujukan untuk memperkaya kata-kata yang bohong.
Tapi, semoga tak selamanya seperti ini.
Semoga saja, suatu saat nanti ada politisi yang jujur, adil, dan mencintai negerinya. Sebab saya pernah mendengar dan membaca kisahnya. Hormat dan rindu saya: Bapak BJ Habibie.
Komentar
Posting Komentar