Jatuh

 Saya seperti jatuh dan secepatnya saya ditendang. Menggelundung tak berarah, sakit, pedih. Bukan tentang "saya butuh pertolongan". Tidak, saya tidak ingin berhutang budi.

Saya membutuhkan pegangan.

Saat sedang jatuh, saya begitu kesakitan. Tak kalah pedih tubuh saya ditendang. Pada saat seperti ini saya begitu hancur.

Bukan tak ingin merasa baik-baik saja. Saya sangat ingin merasa baik-baik saja, merasa hidup seindah-indahnya. Tapi, itu bukan kuasa saya.

Saya selalu berusaha. Tapi dalam matanya selalu tampak sia-sia.

Beruntungnya saya dibantali oleh buku-buku. Buku yang membuat saya kembali berusaha untuk berdiri dan bangkit kali ini adalah The Art of War yang mengatakan, "Amatir menunggu suasana hati tenang untuk bekerja. Profesional bekerja bahkan ketika badai mengamuk di dalam dirinya.”

Mustahil jatuh, tak ditolong, ditendang, hanya meninggalkan sabar dalam diri. Saya begitu marah, pada saat marah, saya menulis ini.

Saya tahu ini akan tampak buruk jika suatu saat nanti saya membacanya lagi. Tapi, percayalah, saat jari-jari saya mengetuk huruf-huruf dalam laptop ini. Perlahan saya merasa lebih baik.

Kemarahan saya pelan-pelan meredah.

Hingga, saya merasa harus lebih keras lagi untuk bekerja. Apa yang terjadi hari ini, pada hari esok akan membuat saya tumbuh.

Tuhan, hanya Engkau pegangan.

Saya akan bangkit, meski saya sedang begitu hancur dan kesakitan. Perlahan saya berdiri. Suara-suara bising itu tak lagi menggangguku. Suara-suara bising itu tak lagi membuatku menyerah.

Mengambil pengalaman bagaimana Pramoedya yang berada di tahanan. Ia bisa membuat tetralogi pulau buru. Beliau tak cengeng, bayangkan saja jika ia menunggu suasana hati tenang untuk bekerja, saya rasa tetralogi pulau buru yang sangat apik itu tak akan pernah ada di dunia ini.

Saya berdiri.

Saya tak takut lagi. Tak perlu menunggu suasana hati lagi. Saya hanya perlu untuk lebih keras lagi bekerja.

Komentar

Postingan Populer