Memanusiakan Manusia Lebih Baik

 Baru saja menonton siniar seorang konten kreator yang menjelaskan mengenai AI.

Pemilik acara siniar itu bertanya, "apa batas etiknya menggunakan AI?" Kemudian, seperti yang sudah saya basa sebelumnya (bisa di cek pada label opini yang banyak membasa tentang AI), Si Pemilik Acara itu menjelaskan bahwa ada proyek gambar untuk sampul buku dan menggunakan AI.

Aku mengira, karena memang pertanyaan tersebut masih samar. Maka narasumber itu menjelaskan juga dengan lebih luas. Bahkan karena itu, pertanyaan utamanya tidak terjawab.

Lalu Si Pemilik Acara kembali menebali itu dengan menceritakan kehidupan pribadinya. Bahwa ia tidak suka dengan pencurian hak milik. Karena AI sampai saat ini tidak bisa menggambar sendiri, pasti ada unsur gambar orang lain yang masuk ke dalamnya ketika kita memasukkan prompt dan meminta AI menggambarnya.

Kali kedua ini lebih jelas. Narasumber menjawab dengan contoh juga, bahwa ia mungkin bisa meminta AI menggambar Indonesia dengan gaya lukisan Van Gogh. Karena memang tidak bisa menciptakan seni yang murni dan baru.

Aku pernah membaca, entah dalam hal sastra atau seni lainnya. Bahwa seni atau sastra tidak bisa dibuat melalui ketiaadaan. Yang ada dari ketiadaan, ya ketiadaan itu sendiri.

Seni atau sastra pasti tercipta karena ada pengaruh dari dunia luar. Pelukis atau sastrawan memiliki referensi dari yang sebelumnya, kemudian membentuk karya baru dengan ciri khas buatannya sendiri.

Berangkat dari itu aku setuju. Tapi, aku juga setuju dengan pernyataan Si Pemilik Acara bahwa yang dilakukan AI itu tidak sama. Unsur-unsur yang di dapat oleh AI sangat kasar dan terkesan hanya mencomot hak orang lain.

Bagi saya, kita bisa dan sangat boleh menggunakan referensi. Tapi kita tidak bisa membuat karya sastra dengan menempel bab satu aku ingin Romeo dan Juliet-nya William Shakespeare, bab dua pakai War and Peace-nya Leo Tolstoy, bab tiga pakai Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Begitu kita menyalin karya-karya itu persis sama lalu menempelkannya secara bersama, saya rasa itu bukan seni. Tapi mengambil hak-hak dari orang yang karyanya kita ambil dan jiplak.

Begitu yang tengah dilakukan oleh AI di mata saya sekarang.

Mungkin, karena berangkat dari kegelisahan itu. Saya merasa narasumber tidak menjawab dengan lurus apa yang ditanyaan Si Pemilik Acara.

Narasumber, dengan kepolosannya, menjelaskan pemanfaatan AI.

Narasumber menjelaskan bahwa dalam membuat konten kadang ia dibantu oleh AI. Dia hanya memasukkan gambar foto dirinya sendiri, lalu mengisi suara. AI membantunya, membuat gambar dan audio darinya itu menjadi video nyata seorang dia yang sedang berbicara.

Kembali lagi. Bagi saya, bahkan kekurangan saya dalam berpikir, saya tidak pernah kepikiran pemanfaatan AI sehebat itu. Cara dia menggunakan AI, tidak ada yang keliru. Ia murni menggunakan AI sebagai alat. Sangat jenius dan keren.

Tapi, keresehan saya pada siniar tersebut, narasumber tidak menjawab dengan paten hitam-putih tentang AI yang melanggar batasan hak pencipta aslinya.

Seharusnya dengan berani narasumber menjawab bahwa penggunaan AI seperti comot gambar dari orang-orang yang memiliki hak akan gambarnya adalah tindak kejahatan. Tapi dia tidak, dia seperti sedang memanusiakan AI dengan tidak mengatakan itu dengan lantang.

Padahal ia bisa saja mengatakan kejahatan AI tanpa perlu sungkan. Bukankah AI hanya sekedar alat yang sangat-sangat membantu?

Hal lain yang memuat saya gusar mendengarkan siniar tersebut. Setelah kehebatannya menggunakan AI disampaikan oleh narasumber. Ia menganggap bahwa orang-orang yang biasanya menggerutu kejahatan AI adalah orang-orang yang tidak mau beradaptasi. Padahal bisa begini, bisa begitu, panjang. Tapi dia terkesan merendahkan orang-orang, bukan memberikan penjelasan atau mengedukasi.

Mungkin, memang bukan kewajibannya untuk mengedukasi penggunaan AI. Tapi bukan hak dia juga untuk merendahkan orang lain.

Daripada memanusiakan AI dengan adanya perasaan sungkan karena telah banyak membantu. Mengapa tidak memanusiakan manusia saja? Saya tahu, saya mengerti, mungkin orang yang suka menggerutu seperti saya ini yang narasumber itu tidak sukai.

Tapi, bukankah narasumber itu seorang konten kreator. Lalu, apa artinya jika konten yang telah ia buat itu tidak ditonton manusia asli seperti saya?

Pasti narasumber itu membuat konten agar dilihat oleh orang lain. Bukan begitu?

Sebaiknya, memanusiakan manusia daripada memanusiakan AI. Karena AI tidak akan memiliki rasa sungkan itu, jika sewaktu-waktu ternyata kita sendiri terkena batunya.

Bukan tentang manusia melawan AI. Tapi mengapa manusia merendahkan manusia lainnya hanya demi AI? Sungguh mengecewakan.

Komentar

Postingan Populer