Mengagumimu, Perlu Kamu

 Aku tidak akan pernah bisa merenggut kamu dengan puisi. Karena aku tak pandai bermain dengannya, berlari-lari dengan barisan hurufnya, menari-nari dengan genggaman katanya, sampai menjadi bentuk frasa dari setiap barisnya.

Tapi percayalah, meskipun aku tidak menguasai bahasa puisi semua tulisan ini berjalan menuju arahmu.

"Merenggut? Kenapa kau gunakan kata itu?" Katamu kalau aku salah dalam pemilihan kata-kata.

Bukan memang akan seperti itu? saat nanti aku menikahimu. Kamu akan menjadi milikku. Utuh, sepenuhnya mungkin?

"Menikah bukan berarti merenggut semua kebebasan sayang. Kalau definisi menikah seperti itu, apa perempuan yang sudah menikah artinya tidak merdeka lagi. Bukan sepenuhnya milikmu. Mimpi-mimpiku, menjadi dokter, menangani pasien, memberi resep obat-obatan, menjalani hidup seperti menjadi dokter pada umumnya. Dokter yang biasa kamu lihat, saat kamu sakit. Bukankah selalu ada dokter perempuan? Tak jarang mereka juga sudah menikah, apalagi dokter perempuan yang sudah bisa dikatakan senior. Ketelatenan dan kesabaran mereka menjadi hal yang paling disenangi oleh setiap pasien yang datang."

Dalam angin yang berhembus semilir sore itu. Matahari tetap menghangatkan anak-anak kecil yang sedang berlari-lari, memberi kesempatan pada pohon beringin untuk memberi teduh pada orang yang ada dibawahnya. awan sedang beranjak dari putih perlahan menjadi kemerah-merahan.

Menjalani mimpi ya?

Kenapa aku tidak pernah memikirkan sampai sejauh itu. Tapi aku hanya mencoba menjadi laki-laki pada umumnya, mempertahankan kata-katanya, membela opini yang dikatakannya.

Seulas senyum sampai tertawa pelan tersungging melalui bibirmu. "Tapi apa yang kamu bela itu salah, jadi tidak perlu pembelaan."

Apa masalahnya dengan itu?

Aku tidak ingin lagi berdebat panjang denganmu. Jelas, aku akan selalu kalah. Bukannya memegang prinsip perempuan selalu benar. Tapi kali ini kamu memang benar. Bahkan sering kamu yang benar.

"Karena itu kamu mengagumiku kan? caraku menjadi sudut pandang lain dalam hidupmu?"

Kali ini kamu salah. Mengagumimu tidak butuh alasan sudut pandangmu. Mengagumimu perlu kamu. Kamu dengan namamu itu.

Mengagumimu, perlu kamu.



Malang, Februari 2022. Saat sore anak-anak kecil sedang bermain bola di depan rumah.

Komentar

Postingan Populer