Apa yang Terjadi dengan Rasa Lapar?

 Rasa lapar merupakan sebuah reaksi alami dari tubuh kita. Lapar muncul ketika kita membutuhkan makanan karena perut kosong.

Dari rasa lapar, kita sebagai manusia memperjuangkan hidupnya. Masa lampau kerap dikenal dengan berburu dan meramu. Berburu dan meramu, keduanya merupakan bentuk pemenuhan manusia untuk menghadapi rasa lapar.

Begitu juga dengan masa kini, kan? Bisa menjadi presiden dengan visi dan misi memenuhi rasa lapar?

Eh, mari kita ubah arah.

Mari kita lebih mengelaborasi rasa lapar itu sendiri. Rasa lapar memberikan berbagai reaksi. Saya akan menariknya juga dengan rasa kenyang.

Ketika kita lapar, dengan cepat otak kita akan berjalan.

Satu buku yang mendukung argumen di atas adalah Geography of Genius karya Eric Weiner. Dalam salah satu babnya, Eric menjelaskan tentang kota Athena. Di mana tanah gersang dan makanan sulit didapatkan.

Pendek kata, orang-orang Athena harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan makan mereka, untuk menghindari rasa lapar. Beberapa orang-orang genius lahir di Athena, karena untuk memenuhi kebutuhan utama mereka saja (makan) mereka harus berjuang dan berpikir. Hal itu yang mengasah otak mereka. Rasa lapar mengasah otak kita.

Ketika saya menuliskan ini, saya membiarkan perut saya merasakan sedikit rasa lapar.

Kenapa perlu sedikit rasa lapar, tidak sepenuhnya lapar?

Saya pernah merasakan begitu sangat lapar. Bukan ide dan kreativitas yang dihasilkan dari rasa lapar tinggi. Kepala jadi berputar, pusing. Ketika dalam kondisi seperti itu, yang saya pikirkan bukan lagi ide, tidak ada lagi kreativitas. Kepala saya hanya akan memikirkan satu porsi ayam goreng dan sepiring nasi hangat.

Rasa lapar yang sangat tinggi atau benar-benar kelaparan juga sangat tidak baik kan?

Ketika rasa lapar yang sangat tinggi itu terjadi dan orang meminta saya untuk mendiskusikan sesuatu. Contoh, saya diminta untuk mengerajakan seratus soal matematika dalam keadaan perut sangat kelaparan. Saya rasa bukan ide dan otak saya yang akan berjalan, tapi emosi dan bangku-bangku akan saya lemparkan.

"SETIDAKNYA BERI SAYA SATU KOTAK NASI DULU!"

EMOSI. Maaf, maksud saya. Emosi akan sangat sulit dikendalikan dalam keadaan perut lapar.

Terpujilah orang yang bisa merasakan kenyang dan memberikan makanan kepada orang yang merasa sangat kelaparan.

Lalu, bagaimana jika kita menutup rasa lapar itu dengan kenyang?

Negara yang dengan mudah memenuhi kebutuhan makannya, memberikan keleluasaan untuk merasakan kenyang akan membunuh ide dan kreativitasnya secara perlahan.

Anggap saja karena orang Athena merasa lapar maka mereka berdiskusi, mengoceh, sesama orang-orang lapar sampai menjadi filsuf. Bayangkan saja, jika orang-orang Athena dengan gampang meraih makanan. Perut mereka kenyang dan mereka merasa tidak perlu diskusi apa pun lagi, saya rasa tidak akan ada filsuf-filsuf hebat dari Athena. Mereka akan lebih memilih tidur karena merasa ngantuk akibat kekenyangan.

Kekenyangan yang berlebihan juga tidak baik.

Secara tidak langsung kekenyangan menuntun kita terhadap rasa puas dan kebodohan.

Satu prinsip bagus yang kerap dibicarakan mengenai lapar dan kenyang ini adalah, "makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang." Ide dan kreativitasmu akan terpelihara di situ.

Ah, ya. Saya sudah merasa lapar sekarang.

Satu potong ayam dan sepiring nasi panas ide yang sangat brilian!

Komentar

Postingan Populer